Bekerja dan bergaul dengan berbagai orang dari berbagai
bangsa tentu mengharuskan kita menguasai bahasa asing, paling tidak bahasa
Inggris sebagai bahasa internasional. Saya sudah mendapatkan kesempatan bekerja
dan berhubungan dengan berbagai relasi dari beragam bangsa dengan latar
belakang budaya berbeda-beda. Dan tentu saja terasa betul bahwa menguasai
bahasa Inggris itu sangat penting. Tapi ternyata tidak cukup sampai di situ. Menguasai
bahasa Inggris itu memang penting, tapi ketika kita bekerja cross
culture maka adalah sangat penting untuk memahami budaya asal orang-orang
yang menjadi relasi atau rekanan kita.
Dengan kata lain saya meyakini bahwa bicara bahasa Inggris
tidak hanya sekedar berbahasa tapi juga mengerti tentang budaya lawan bicara
kita. Ketika saya berbicara bahasa Inggris sebenarnya saya belum sepenuhnya
bicara bahasa Inggris. Lantas apa yang saya terjadi ketika saya berbahasa
Inggris? Iya, yang saya lakukan adalah berbicara bahasa Indonesia yang
disampaikan lewat bahasa Inggris. Artinya begini, karena itu bukan bahasa asli
saya, saya memikirkan apa yang hendak saya katakan dalam bahasa Indonesia, baik
itu per kata, per kalimat, atau per alinea kemudian saya mentransfernya ke
dalam bahasa Inggris. Jadi jelas di mana letak perbedaannya dengan penduduk
setempat yang adalah pengguna asli bahasa tersebut. Pengungkapan arti dari yang
dimaksudkan tentu akan berbeda.
Kalau saya bilang seperti ini do you understand what I was
saying? Mungkin banyak yang bilang ‘Iya kami tau betul’. Tapi, do
you really understand what I mean by saying that? Jawabannya adalah
belum tentu. Latar budaya memengaruhi pemaknaan sebuah kalimat-kalimat yang
terucap memakai bahasa Inggris (atau bahasa asing lainnya).
Mari kita lihat contoh berikut ini. Bila Anda diperhadapkan
pada situasi tertentu yang sangat menekan Anda. Misalnya Anda dituntut untuk
segera menyelesaikan laporan dalam waktu sesingkat-singkatnya. Pada situasi
seperti itu, boss Anda datang dan berucap begini, I need your report less than 2 hours from now. Anda pun merasa hal
itu tidak mungkin. Ada
300 halaman yang harus dipelajari untuk dibuatkan laporannya. Mana bisa
diselesaikan dalam waktu 2 jam. Pada posisi seperti itu, di Amerika, Eropa, dan
hampir semua kita pasti akan melontarkan kalimat seperti ini, “I
will do my best” atau yang sejenis itu, “I will try my best”.
Penelitian membuktikan, bahwa setiap bangsa mempunyai
pemaknaan yang berbeda atas kalimat tersebut. Bila boss Anda orang Swedia atau
Norwegia (Scandinavian Countries)
mereka akan menganggap perkataanmu adalah semacam janji. Dan bagi mereka promise is a promise. Sebelum dua jam
berlalu ia akan datang dan menagih janji Anda. Sebab apa? Kalau ada skala
prosentase 1 – 100 maka sekitar 75-90% Scandinavian
people memahami I will do my best
sebagai sebuah pernyataan meyakinkan bahwa mereka akan benar-benar melakukan their best. Bahwa I will do my best tidak sekedar basa-basi, tapi sebuah janji.
Lantas bagaimana dengan pemahaman atau budaya sebagian
negara Eropa lainnya termasuk Inggris dan German? I will do my best hanya dijamin 50%. Artinya mereka tidak
sepenuhnya memaknai I will do/try my best
sebagai sesuatu yang betul-betul harus ‘bersuar lelah’ untuk menyelesaikannya.
Sederhananya begini, saya akan coba selesaikan, tapi ya begitulah….Not such a promise.
Untuk orang Polandia, Italia, dan Irlandia lebih rendah
lagi, sekitar 25%. Dengan bahasa lain, will
do my best itu sesungguhnya musti dimengerti dan dimaknai sebagai, I don’t
think so, but just perhaps. Sekarang kita melihat bahwa bahasa yang
sama tapi punya makna yang berbeda, tergantung latar budaya orang yang
menyebutkan kalimat-kalimat tersebut. Dan seorang rekan bisnis dari Norwegia
akan geleng-geleng kepala bila akhirnya menemukan rekan bisnis dari Polandia
yang berjanji (menurut pemahaman mereka) untuk melakukan yang terbaik, tapi
nyatanya they aren’t doing their best at
all.
Culture Management
Skills
Saya selalu mengulangi ketika bertutur dengan rekan-rekan
dari negara lain, bahwasanya kita semua sesungguhnya butuh apa yang
diistilahkan sebagai culture filters. Sebab dengan
memiliki itu, hubungan kita dengan komunitas internasional di manapun kita
ditempatkan dan atau bekerja akan semakin mudah. Kita akan mampu menempatkan
diri, dan sanggup memahami lawan bicara kita base on their culture.
Kata lainnya yang ingin saya bahas adalah “maybe”.
Kata sederhana ini ternyata dapat dimaknai berbeda-beda, tergantung latar
budaya masing-masing orang yang mengucapkannya. Seperti contoh di atas tadi,
orang Scandinavia bila mengatakan maybe (atau mendegarkan kata tersebut)
maka di benak mereka, yang dimaksud maybe
itu adalah a litter more than maybe.
Dengan kata lain more promising
(75-80%).
Bagaimana dengan Inggris dan German umpamanya? Ternyata maybe
is just maybe. Bagi mereka maybe
adalah maybe yes dan maybe not dengan kemungkinan yang sama
besar (50%). Kalau orang Latin Amerika yang mengucapkannya? Lain lagi. Maybe itu lebih condong ke ‘mungkin
tidak’ (maybe not) atau 1-50%. Ketika
mereka mengucapkan ‘Quizas’ (kata dalam bahasa Spanish)
lalu Anda mencarinya di kamus maka yang tertera di sana adalah ‘maybe’. Padahal arti asli dalam bahasa mereka (berdasarkan latar
budaya orang-orang Amerika Latin) maka kata quizas
itu bukan maybe, tapi maybe not. Atau boleh dikalimatkan serta
dimaknai sebagai perhaps, but I don’t think so.
Bagi bangsa-bangsa di Asia Tenggara justru akan lebih
ekstrim lagi. Mengatakan maybe adalah
cara sopan sebuah penolakan. Cara sopan untuk mengatakan ‘tidak’. Maybe itu adalah ‘no’. Kalau orang Filipina diminta untuk datang ke suatu acara tapi karena
satu dan lain hal mereka tidak bisa hadir, perhatikan apa yang akan mereka
bilang, maybe. Bukankah itu juga yang
dilakukan hampir semua kita di negeri ini? Maybe
(mungkin) adalah bahasa halus untuk bilang ‘Not possible’. Dalam skala
presentase seperti di atas, hasilnya adalah 0%. Maybe itu artinya ‘nggak’.
Nah, di Jepang lebih unik lagi, bukan hanya 0% tapi minus (-) 20%. Kalau orang
Jepang bilang ‘shhhh maybe’, itu
artinya tidak sama sekali. Nggaknya
luar biasa banget. Simply just forget it!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar